Setiap nasionalisme disebut-sebut, setiap Pancasila diucapkan dan setiap kata merdeka di ucapkan orang, selalu dinisbatkan kepada sang proklamator Bung Karno atau Soekarno. Apalagi rezim amatiran saat ini tengah sibuk menyebarkan propaganda dan pembusukan, label-label barbarian yang sudah dicetak berseliweran dimana-mana, menuduh yang bukan-bukan seperti orang kerasukan. Bicara tak tentu arah mengatakan anti NKRI, radikal, ekstrim, anti Pancasila, teroris. Semua nyanyian hambar dan basi itu sasarannya adalah Islam dan umat Islam. Bangsa ini harus cerdas, umat Islam sudah saatnya melek politik, umat Islam harus bangun dari lena yang menghayutkan dan menyesatkan. Masalah kita dalam bernegara dan berbangsa menjadi kian kusut, dinamika memang perlu dan bahkan sebagian dari dinamika perlu diciptakan untuk menstimulus kecerdasan berfikir rakyat dan kesadaran sebagai warga negara. Namun justru dinamika yang dibentuk hari ini lebih kepada sebentuk sikap kekanak-kanakan penguasa, alih-alih ingin menarik simpati rakyat agar kewibawaan penguasa tetap terjaga, justru yang terjadi adalah penguasa mempermalukan dirinya berkali-kali sehingga rakyat mencibir namun masih tetap seakan merasa tampil bijaksana dalam wawancara pers.
Ini penyakit penguasa hari ini. Jangan
penguasa itu kalian menyangka rakyat puluhan juta jiwa di republik ini
bodoh-bodoh semua, bisa kalian tipu bisa kalian permainkan. Kekuasaan yang
tidak membaca, tidak berfikir dan tidak mau mendengar lambat laun akan roboh
atau dirobohkan oleh kekuasaan rakyat. Jangan lupa satu hal, kalian bisa duduk
jadi penguasa, jadi pejabat di institusi negara itu karena kalian dipilih dan
di dudukkan oleh rakyat. Dalam demokrasi kekuasaan yang sebenarnya itu milik
rakyat, terletak pada rakyat. Sebab itu hakikatnya rakyatlah yang berhak dan
berwenang kapan kekuasaan itu harus berakhir terserah kepada rakyat dengan cara
bagaimana kekuasaan itu harus ditertibkan. Supaya kalian penguasa itu mengerti,
jangan berlagak seakan paling berkuasa, merasa sebagai pemilik kekuasaan. Salah
besar. Rakyatlah pemilik kekuasaan itu. Pertama, soal
nasionalisme. Selama ini dalam dialog kebangsaan dan ideologis, nasionalisme
senantiasa dipandang sebagai paham yang ideal, paham pertengahan yang dianggap
moderat.
Sebagai lawan ideologi komunisme-leninisme
yang diletakkan sebagai ideologi kiri yang dianggap berbahaya dengan semangat
egalitarianismenya dapat menciptakan diktator proletariat. Sementara di posisi
kanan dalam dialektika ideologis adalah Islam sebagai ektrim kanan yang
menghendaki negara dan pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum tuhan.
Nasionalis biasa berargumentasi mengatakan dalam kritiknya kepada ekstrim
kanan, "bahwa negara yang kita bentuk adalah negara untuk semua
orang, melindungi dan menjamin hak serta kebebasan setiap warga negara dalam
segala aspek. Kekuasaan kanan amat mudah diselewengkan atas nama agama dan
tuhan kejahatan dan kebiadaban mendapat legitimasi, dan itu sangat
berbahaya". Sementara kepada ekstrim kiri, nasionalisme
berujar, "negara diperjuangkan, dibentuk dan pemerintahan
diselenggarakan untuk menjamin dan mengupayakan kemakmuran dan keadilan
kolektif". Kenyataannya dengan meletakkan nasionalisme sebagai
ideologi pertengahan, sebagai yang ideal dan moderat justru menjadi kesempatan
bagi penguasa memanfaatkan relatifitas nasionalisme (tengah yang rentan) untuk
bergeser ke kiri yang liberal dan sekuler hingga ke komunisme.
Di bawah penguasa yang barbarianisme dan
amatiran, nasionalisme dapat dikolaborasikan dengan mengambil basis kiri untuk
memberangus pengaruh Islam sebagai ekstrim kanan. Hal itu sangat mungkin sebab
sekulerisme, liberalisme dan komunisme hanya dapat hidup dan tumbuh subur jika
suatu bangsa lepas dari pengaruh ajaran agama. Semakin tahun, liberalisme dan
sekulerisme itu justru menarik siklus kehidupan umat manusia mundur menuju
zaman seperti yang di ekspresikan oleh Thomas Hobbes "homo homini
lupus", manusia serigala bagi manusia lain. Kehidupan manusia
adalah kehidupan yang penuh konflik dan pertikaian, siapa yang kuat maka dialah
yang menang dan menguasai si lemah bahkan berhak menindasnya. Sebab dalam fase
ini ketiadaan moralitas menjadi sebab malapetaka dan kebobrokan. Sedangkan
agama adalah sumber tertinggi dari moralitas. Jika agama tidak diberi ruang dan
tempat maka moralitas yang tersisa hanyalah moralitas semu atau moralitas palsu
yang sengaja dibuat-buat oleh para pembohong dan para perampok.
Di republik ini, masyhurnya nasionalisme
selalu di identikkan dengan Soekarno, menyanjung setinggi langit bahwa Soekarno
lah satu-satunya nasionalis sejati. Nama Soekarno selalu disebut-sebut dan
nama-nama pendiri negara yang lain tidak pernah dimunculkan oleh rezim anak
keturunan Soekarno yang tidak mengerti sejarah perjuangan kemerdekaan. Seakan
hanya Soekarno seorang yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini. Ini terlalu
naif dan menjijikkan. Setiap saat anak keturunan Bung Besar ini bisanya hanya
membangga-banggakan bapaknya, demikian pula dengan si Ketua Parlemen yang masih
labil dan amatiran membangga-banggakan kakeknya. Barangkali
Soekarnois-soekarnois itu lupa bahwa Tan Malaka jauh lebih nasionalis daripada
Soekarno, Sutan Sjahrir jauh lebih nasionalis daripada Soekarno. Bagaimana
Sutan Sjahrir bersama golongan muda mendesak Soekarno agar proklamasi harus
segera dibacakan, namun ditolak oleh Soekarno yang masih menunggu janji Jepang
untuk merealisasikan kemerdekaan yang semula telah dipersiapkan Jepang. Inikah
nasionalis sejati itu ?, Inilah yang membuat panas kepala Sutan Sjahrir, bahwa
jangan sampai kemerdekaan itu hadiah dari pemerintah kolonial Jepang. Bahwa
kemerdekaan itu haruslah diperjuangkan sendiri, bukan diberikan. "Hidup
yang tak diperjuangkan takkan dimenangkan", demikian ujar Sjahrir
muda.
Sejarah mencatat, bahkan Sjahrir dan golongan muda
nasionalis sudah mendesak Soekarno sejak tanggal 14, 15, dan 16 Agustus 1945,
namun selalu ditolak. Sjahrir pun menumpahkan kekesalannya pada Soekarno dan
mengumpat Bung Besar itu di hadapan Soebadio Sastrosatomo, "Man
Wijs.. Dasar Banci, Pengecut! Penakut!". Lain lagi tatkala Sutan
Sjahrir menjabat Perdana Menteri, Sjahrir memilih jalan perundingan untuk
menyelesaikan konflik kedaulatan dengan pemerintah Belanda yang masih
ingin menancapkan kekuasaannya di negeri yang semula telah berhasil dibebaskan.
Kebijakan Sjahrir mendapat dukungan Soekarno namun membuat Tan Malaka
berang. Sampai-sampai Tan Malaka berkata menghujat Sjahrir, "Sjahrir
itu anjing Belanda, antek Belanda!!". Dalam peristiwa itulah Tan
Malaka mengekspresikan jiwa nasionalismenya yang mayshur sampai hari ini, Tan
berkata bahwa,"Tuan rumah takkan berunding dengan maling yang menjarah
rumahnya". Namun Tan Malaka malah dituduh melakukan agitasi dan
menghambat jalannya perundingan oleh Bung Besar yaitu Presiden Soekarno, lalu
Bung Besar memerintahkan Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin menangkap dan
memenjarakan "Bapak Republik" itu. (Lihat lebih
lanjut tulisan saya dalam "Nasionalisme Kita")
Tan dipenjara tanpa proses hukum dan baru
dibebaskan setelah sekitar dua tahun mendekam. Dari sejarah ini harusnya elit
politik dan penguasa itu berfikir jauh dan luas, bukan berpemikiran sempit, dan
mereka harus jujur pada realitas sejarah, jangan bisanya melulu meneriakkan
merdeka, menyanjung bapak mereka, menyanjung kakeknya dengan mengabaikan
nasionalis sejati seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka beserta founding father
lainnya yang banyak berasal dari Sumatera. Saya melihat ada upaya untuk
menggeser kekayaan sejarah yang semula dipegang anak-anak Sumatera lalu digeser
ke Jawa. Itu namanya tidak jujur membaca dan mengetengahkan sejarah, jahil
membaca sejarah, tidak mendidik rakyat menjadi cerdas menyikapi nomena
kesejarahannya. Jangan menciptakan masalah. Kedua, tentang
Pancasila. Di republik ini Pancasila selalu di identikkan dan dinisbatkan pada
Soekarno. Lagi-lagi Soekarno. Seakan anak keturunan Soekarno atau
Soekarnois-soekarnois di republik ini hendak menggeser sejarah dan arah
peradaban dari Sumatera ke Jawa di republik ini. Seakan Pancasila itu berasal
dari pemikiran Soekarno hasil dari penggaliannya terhadap realitas bangsa
Indonesia.
Puan Maharani Harus Belajar Pancasila Dari Sumatera Barat
Kalaulah kita ingin menisbatkan cikal bakal
lahirnya dasar negara yang kita sebut Pancasila itu kepada tokoh tertentu maka
lebih tepat menisbatkannya pada Moh. Yamin (founding father asal
Sumatera Barat) bukan pada Soekarno. Hal itu disebabkan paling tidak oleh dua
hal, Pertama, dilihat dari segi waktu penyampaian gagasan
tentang dasar negara, maka Moh. Yamin lah tokoh pertama yang mengajukan
gagasannya tentang dasar negara yaitu pada 29 Mei 1945. Dasar negara yang
diajukan Moh. Yamin ada yang disampaikan secara lisan ada pula yang secara
tertulis. (Lihat lebih lanjut tulisan saya dalam "Salah Kaprah
Tentang Lahirnya Pancasila"). Adapun yang disampaikan secara tertulis
rumusan atau redaksinya dan urutannya hampir sama persis dengan dasar negara
yang berlaku hari ini.
Maka elit PDIP semisal Puan Maharani ataupun
Megawati jika ingin mengerti Pancasila, maka belajarlah dari Sumatera Barat.
Sebab Sumatera Barat banyak melahirkan tokoh-tokoh telaten dan menjadi "Negeri
Para Founding Fathers". Di Sumatera Barat lah lahirnya Sutan
Sjahrir, Tan Malaka, Moh. Yamin, Buya Hamka, Moh. Natsir, KH. Agus Salim,
bahkan Sjafruddin Prawiranegara yang dijuluki "Sang Penyelamat
Republik" masih berdarah Sumatera Barat. Sebab itu jangan mudah
bersikap pongah mengatakan seakan Sumatera Barat tidak mengerti Pancasila,
tidak menerima Pancasila. Ini salah kaprah yang teramat besar. Jangan hanya
karena PDIP ditolak di Sumatera Barat lalu menyimpulkan Sumatera Barat tidak
Pancasilais. Jangan uta- atik sejarah, jangan sejarah diubah-ubah, justru
Pancasila yang berlaku sekarang lahir dari pemikir sekaligus pendiri negara
anak kandung Sumatera Barat, yakni Moh. Yamin.
Lagi pula dasar negara Pancasila yang berlaku hari ini adalah hasil dari perubahan sepihak terhadap Piagam Jakarta yang semula telah disepakati bersama oleh golongan nasionalis dan golongan Islam sebagai dasar negara pada 22 Juli 1945. Piagam Jakarta disepakati juga berkat anak-anak Suamtera Barat yang vokal semisal Moh. Natsir. Bahkan Moh. Natsir pernah terlibat perdebatan panjang dengan Soekarno. Sejarah kemudian mencatat debat dua orang tokoh ini adalah debat yang mencerahkan di era modern bagi pikiran-pikiran yang sehat. Namun patut disayangkan, sesaat sebelum UUD 1945 disahkan, pada 18 Agustus 1945 sila pertama Piagam Jakarta diubah secara sepihak, dari yang semula aslinya berbunyi "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi "ketuhanan yang maha esa". (Lihat lebih lanjut tulisan saya dalam "Mendung di Langit 18 Agustus 1945" dan "Masih Saja Tentang Dasar Negara, Pancasila atau Piagam Jakarta").
Soekarno menyampaikan gagasan dasar negaranya
baru pada 1 Juni 1945, yaitu sesudah Moh. Yamin pada 29 Mei 1945 dan sesudah
Soepomo pada 31 Mei 1945. Adapun substansi dasar negara yang diajukan Soekarno
sebetulnya hanya menyadur gagasan dasar negaranya Moh. Yamin namun dirumuskan
dengan redaksi yang berbeda dari Moh. Yamin. Kedua, penting dipahami
bahwa pada 1 Juni 1945 itu tidak ada satupun dasar negara yang sah, belum ada
dasar negara yang diakui. Sebab pada 1 Juni hanyalah kelanjutan proses sidang
BPUPKI dengan agenda mendengarkan penyampaian gagasan tentang dasar negara
untuk selanjutnya dibahas dan disahkan secara resmi sebagai dasar negara. Sebab
itu 1 Juni 1945 tidak dapat di identikkan sama sekali dengan Soekarno, demikian
juga Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat di identikkan dengan pemikiran
Soekarno sekalipun Soekarno mengatakan gagasan ideologisnya itu hasil
penggalian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Saya fikir penjelasan diatas sudah
dapat menjawab jiwa-jiwa pongah Soekarnois-soekarnois yang sesat, yakni
soekarnois yang fanatik buta pada Soekarno saja seakan tidak menganggap peran
besar pendiri negara lainnya khususnya tokoh-tokoh tulen Sumatera Barat yang
terdidik dan tercerahkan fikirannya.

Komentar