![]() |
| FOTO: Roma Riski Siregar |
Hmizone.id, Opini -Duduk di bangku kuliah dan menjadi seorang mahasiswa merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi para pemuda. Menjadi mahasiswa berarti mereka termasuk dalam golongan orang-orang intelektual yang dianggap mampu mengkritisi berbagai hal, termasuk kebijakan pemerintah. Menjadi mahasiswa berarti mereka merasa memiliki kekuatan untuk bersikap dan berpihak.
Saat menjadi mahasiswa juga dianggap merupakan saat yang tepat untuk melakukan berbagai hal dengan keberanian dan tanpa rasa takut. Maka dari itu, banyak aksi protes dari mahasiswa terhadap hal-hal yang dianggap salah oleh mahasiswa terhadap pembuat kebijakan. Aksi tersebut bermacam-macam bentuknya, mulai dari membuat tulisan berisi protes atau kritik di berbagai media, hingga demonstrasi yang melibatkan banyak orang.
Mahasiswa adalah agent of change (agen perubahan). Untuk itu mahasiswa dituntut untuk selalu aktif dan bersuara, namun pada kenyataannya hanya segelintir mahasiswa yang aktif dalam organisasi kampus ataupun kelembagaan lainnya. Maha yang berarti besar atau tinggi yang bahwa penyandang nama mahasiswa bukan hanya sebagai seseorang akademisi, akan tetapi lebih dari itu, mahasiswa yang dapat memperjuangkan keadilan melawan segala bentuk penindasan, hanya seorang mahasiswa yang bisa merubah itu semua, bila diingat lagi ke beberapa tahun yamg lalu, alamamter kebanggaan yang dipakai menjadi simbol, Toa yang dipakai digunakan sebagai jeritan perwakilan suara rakyat yang mengalami segala bentuk ketidak adilan dan kekacauan yang melanda tanah air.
Peran Mahasiswa di negara ini bukan menjadi seorang superhero yang selalu memperjuangkan ketidak adilan dan meneriakan kata “HIDUP MAHASISWA”, kata yang selalu terdengar di setiap perjuangannya dan tak segan bertindak ketika memang benar-benar diperlukan , sampai saat ini mahasiswa telah menjadi pembela negeri, dimana sebagian banyak masyarakat yang tidak peduli dengan nasib atau mau kemana negeri ini.
Demonstrasi mahasiswa memang sudah menjadi legenda negeri ini sejak runtuhnya pemerintahan Soeharto dan bangkitnya Reformasi 1998. Penentangan terhadap rezim Soeharto dan pilar-pilar kekuasaannya yang sudah sangat lama akhirnya dapat digulingkan dengan kekuatan mahasiswa.
Meskipun demikian, kita juga tidak boleh melupakan tragedi trisakti yang menewaskan sejumlah mahasiswa setelah rentetan panjang aksi demonstrasi itu. Artinya, meskipun berbuah sangat baik, tetap ada risiko yang menghadang saat demonstrasi dijalankan. Namun, sejarah itu seolah melekat hingga kini sehingga mahasiswa merasa memiliki beban moral untuk bersikap terhadap kebijakan-kebijakan yang salah.
Akan tetapi di era modernisasi perlahan jiwa-jiwa mahasiswa yang lalu ada menjadi hilang. Peran mahasiswa kini tenggelam setelah beberapa waktu berlalu, seakan teriakan- teriakan pembela penuh akan makna yang didalam nya tersirat penuh perjuangan, Almamater kini hanya menjadi penghias lemari dan dinding kamar. Mahasiswa dan pergerakan telah menjadi satu bahkan saling terhubung, bukan tanpa alasan kenapa para pejuang keadilan(mahasiswa) ini tidak dapat peka dengan kondisi yang ada, dan juga bukan tanpa sebab sikap apatis yang sedang dihadapi mahasiswa salah satu penyebabnya adalah keterbatasan fasilitas ruang pergerakan dan kebebasan berpendapat dibatasi oleh peraturan pihak birokrasi kampus , pengurangan jam malam, terbatasnya lahan/ruang diskusi , ruang pendapat mahasiswa yang terbatas membuat mahasiswa menjadi susah untuk menyampaikan aspirasi, berpendapat dan berorganisasi. Hal ini mempertegas birokrasi kampus yang terkesan semakin otoriter dalam menjalakan tugasnya
Tindakan birokrasi kampus lain nya yang semakin terlihat dan dirasakan oleh mahasiswa. Dari berbagai macam peraturannya seperti SK Rektor, SK Dekan. Mungkin banyak mahasiswa yang tidak menyadari bahwa mereka disusahkan serta dirugikan dengan peraturan yang ada. Mahasiswa terkesan hanya diam dengan birokrasi kampus ini,seolah mahasiswa hanya meng-iya kan apa yang terjadi di dalam kampus nya dan juga ketika ada mahasiswa yang ingin mengkritisi birokrasi kampus yang berbelit akan tetapi pihak dari universitas itu beranggapan itu merupakan tindakan yang mencemarkan nama baik almamater. Hal ini semakin memperjelas perampasan hak untuk berekspresi, berpendapat dan berorganisasi. Perlahan tapi pasti mahasiwa sekarang dibelenggu oleh birokrasi kampus.
Penulis: Roma Riski Siregar, Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Uin suska

Komentar