Hidayatullah : Pedofilia? Ada Apa Dengan Dunia Pendidikan Kita?

Iklan Semua Halaman

Banner Iklan Sariksa

.

Hidayatullah : Pedofilia? Ada Apa Dengan Dunia Pendidikan Kita?

Sulthan
Jumat, 09 Mei 2014
Hidayatullah
KABID Publik Relation HMI-MPO 2012
   
Sedari awal semua aktifis anak dan tokoh anak telah mengirimkan sinyal warning kepada kita semua tentang Darurat Kekerasan Seksual Anak. Masih terbenam di benak kita seorang anak yang terbunuh akibat perilaku ayahnya sendiri dalam hal ini, dan itu dilakukan di depan keluarganya setiap malam. Kejadian ini di tengah 2013 dan terus berulang secara terus menerus sampai hari ini. Mewabah di semua tingkatan dalam kehidupan masyarakat.

Belum lagi kita dihenyakkan dengan kekerasan di institusi sekolah, Sekolah yang selama ini dianggap aman, ternyata tempat berkumpulnya dan legalnya pendidikan kekerasan

Anak dalam melakukan sesuatu masih dianggap subjek, karena dalam perilakunya tidak bisa berdiri sendiri, diyakini bahwa anak melakukan itu karena meniru, olah tiru ini sudah difasilitasi banyak lingkungan, media, gadget dan multimedia. Nyatanya, para orang tua tidak bisa melawan dunia ini, gap yang semakin jauh dalam dunia ini terjadi antara orang tua dan anak dalam pemanfaatannya. Yang bisa adalah semenjak dini menciptakan lingkungan yang protektif, mencegah dan ramah anak.

Ada beberapa orang yang berkeyakinan perlakuan kekerasan seksual terhadap anak disebabkan korban memakai pakaian yang mengundang pelaku. Namun tercatat di rekam data beberapa organisasi anak, justru pelaku adalah orang yang mengajarkan dunia moral kepada anak-anak. Dan Anak-Anak berada dalam situasi lingkungan belajar dan pakaian yang tertutup. Namun nyatanya ini tidak sama sekali menjadi faktor pelindung. Kita disadarkan bahwa ini bisa terjadi dimana saja, institusi pendidikan sekalipun. Padahal hampir semua orang tua percaya bahwa di institusi seperti ini adalah institusi sakral tempat anak-anak menjadi terdidik, namun kenyataannya rawan sekali menjadi ancaman dan terjadi kekerasan terhadap anak-anak.

Anak-Anak diakui atau tidak, mengalami kekerasan, baik melalui teman sebayanya, teman lingkungannya, lingkungan sekolah, bahwa sekian banyak anak dalam suatu ruang dunia mendidik, belum tentu mendapat perhatian secara khusus. Kualitas pendidikanpun masih terasa jauh, karena untuk memahami satu pelajaran saja orang tua harus membayar mahal, tidak cukup dengan sekolah saja. Akhirnya banyak para guru membuka les untuk meningkatkan kualitas belajarnya, dan kebanyakan inilah yang meningkatkan penghasilan guru. Ini membuktikan bahwa pendidikan sekolah adalah pendidikan cuma-cuma. Kurang dapat diukur indikator keberhasilannya, nyatanya pendidikan di Indonesia sangat mahal, karena orang tua harus punya merogoh kocek lebih dalam alias keuangan ekstra untuk mendidik anak. Mulai dari pemenuhan belajar, gizi dan tumbuh kembang dibidang lainnya. Dalam hal ini kualitas keberhasilan belajar justru banyak dipenuhi diluar sekolah. Bila ingin mendapatkan pelajaran yang berkualitas, orang tua harus melirik Sekolah Ternama dan Mahal. Apa peran sekolah saat ini? Pentingnya regulasi pendidikan yang dapat menopang semua stakeholder yang berada disekolah, Mari kita dukung sekolah, dan menguatkan peran guru dalam mengajar. Penting menciptakan ruang untuk meningkatkan kualitas Guru, jika tidak maka pendidikan yang didapat anak-anak kita adalah pendidikan copy paste alias 'itu-itu saja' alias pendidikan cuma-cuma.

Kekerasan yang ditampilkan diberbagai media dan game bagi anak terasa sangat mengasyikkan, namun beberapa hal ketika menjadi dipraktekkan anak menjadi sangat berbahaya. Pentingnya pendampingan, tuntunan, alasan dan diskusi antar orang tua dan anak dari setiap hal yang disaksikan anak menjadi penting. Orang tua mulai harus memastikan dalam setiap minggu menyiapkan dirinya untuk mengajarkan tentang berbagai hal yang telah dilihat anak. Pendidikan yang penting adalah anak dapat mengartikulasikan dan mewujudkannya diruang yang tepat dan mengandung nilai-nilai positif guna dalam tumbuh kembangnya yang tanpa batas.

Untuk kasus kekerasan seksual, seringkali anak menjadi korban yang berulang-ulang. Ini terjadi diakibatkan hukum berita acara dalam kasus kekerasan seksual anak belum diatur secara eksplisit dan lengkap. Selama ini pengaturannya masih berorientasi kepada pelaku kekerasan seksual, namun untuk korban sering terlupakan. Anak ketika mendapatkan kekerasan seksual, ingin sekali segera melupakannya. Namun ketika memasuki proses pembuktiannya, anak harus memberikan keterangan tentang proses tersebut, dan biasanya proses penyidikan berorientasi pada pembuktian dari pelaku, secara tanpa sadar anak ditanya berbagai hal tentang yang terjadi pada saat itu. Akhirnya trauma tidak hilang namun berkepanjangan, belum lagi pertanyaan-pertanyaan berulang dari teman-temannya di sekolah, keluarganya, lingkungannya.  Penting kiranya dalam melakukan penyidikan ini hanya sekali dan ditunjuk seorang yang ahli dalam healing untuk anak-anak korban kekerasan seksual, kemudian direkam, dan itu terjadi sekali saja. Dan digunakan selanjutnya sebagai bahan materi persidangan, tentu persidangan tertutup yang hanya bisa didengar orang-orang yang berkepentingan saja.

Penulis saat ini menyaksikan kasus kekerasan anak 'ter blow up' sedemikian rupa, tidak bisa dipungkiri hal ini menjadi ketertakutan sendiri baik dari keluarga pelaku, keluarga korban. Ini merupakan proses pendidikan di masyarakat terutama anak-anak dalam menyaksikan kejadian ini. Bahwa privasi anak seperti tidak bisa diwujudkan, karena trauma mereka akan terulang dengan seiringnya pemberitaan di berbagai media. Pentingnya dukungan masyarakat agar anak-anak segera melupakan menjadi penting. Salah satunya membangun lingkungan yang dapat mengakomodir ruang kreasi Anak menyalurkan bakat dan minatnya. Segera kembali bersosialisasi dengan teman-temannya.

Untuk Pelaku, pengalaman dari berbagai peristiwa kasus ini, membuktikan pelaku adalah korban dimasa lalunya. Bahwa pemenjaraan dan penyingkiran dalam dunia sosial, bagi pelaku ini bisa berulang kembali. Pentingnya Rehabilitasi Sosial, Terapi Kejiwaan, dan 'Pengebirian' terhadap pelaku penting dilakukan. Karena akhirnya perbuatan ini bisa terjadi dimana saja dan berulang. Akhirnya penjara bisa menghasilkan predator-predator berikutnya, dan ada kemungkinan mereka terlepas dari penjara dan mengincar korban berikutnya. (Tanpa mengurangi rasa hormat kita bagi para pejuang dipenjara yang sedang memperbaiki kehidupannya)

Tulisan ini mengarahkan kepada kita untuk mencegah perlakukan ini berulang, karena nyatanya kebanyakan pelaku adalah orang yang ramah dengan anak.

Renungan yang sangat mendalam juga terjadi pada penulis, melihat dunia sosialisasi anak saat ini yang berubah. Interaksi sosial anak berada di media gadget dan multimedia. Namun tak banyak dunia ini yang merangsang anak untuk berlomba dan berprestasi didunia ini. Karena lebih banyak yang terjebak dalam dunia kekerasan di dunia gadget dan multimedia. Memang mengembangkan dunia ini agar menjadi positif untuk anak sangat mahal, karena butuh mengandung ketertarikan dan kompetitif untuk anak-anak berprestasi didunia ini. Dunia ini terlalu usefully (mudah digunakan) dan kerasa tahuan anak yang melibatkan emosinya menjadi pendorong dominan Anak terjebak didunia ini.

Saat ini kita banyak mendengar wacana Desa Layak Anak, Kota Layak Anak, Provinsi Layak Anak, Namun program-program ini belum bisa mengcover , jumlah anak-anak Indonesia yang mencapai 83 juta anak. Program ini bila dihadapkan pada anak-anak korban kekerasan seperti berada diruang sembunyi dan tidak memihak mereka. Pentingnya Anak-Anak mulai dikenalkan Pendidikan Refleksi Anti Kekerasan, karena kekerasan sudah menjadi konsumsi hal yang biasa untuk Anak. Sekolah mulai harus membiasakan berdiskusi tentang dunia kekerasan pada Anak-Anak.

Riau Kasus Pedofilia Terbanyak 

yang turun temurun ditiru dan terwarisi secara mengerikan. Baru saja kita menyaksikan anak SD membunuh temannya sendiri, karena hanya menyenggol makanan.

Angka kasus kejahatan seksual terhadap anak atau pedofilia di Riau termasuk mencengangkan setelah disebut Mabes Polri sebagai yang tertinggi di Indonesia. Dari data Polda Riau, selama Januari-April 2014, 102 laporan kejahatan seksual diterima dengan 104 korban terdata. Kota Pekanbaru menjadi daerah tertinggi dengan 25 kasus.

Sperti Di Ungkapkan Oleh Kabid Humas Polda Riau, AKBP Guntur Aryo Tejo kepada wartawan, Rabu (7/5) mengatakan, pihaknya akan mengungkap seluruh kasus ini dan menangkap pelaku-pelakunya. ‘’Selama Januari-April 2014, jajaran polres di bawah Polda Riau menerima 102 laporan kasus pencabulan dan kekerasan seksual terhadap  anak di bawah umur. Dalam penyidikan 40 kasus, penyelidikan 20, dinyatakan lengkap (P-21) 35 kasus, disidang 6 dan dihentikan (SP3) 6. Dari jumlah ini, ada 102 tersangka dan 104 korban,’’.

Jumlah ini, lanjutnya tersebar di seluruh kabupaten/kota yang ada di Riau, minus Kabupaten Indragiri Hulu. ‘’Dari seluruh 12 polres yang ada, di Polres Inhu tidak ada laporan terkait pencabulan dan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur,’’ ujarnya.

Jika dirinci, Polresta Pekanbaru menjadi yang paling banyak menerima laporan pencabulan. Di sini, ada 25 kasus yang ditangani. Dimana dalam penyidikan 3 kasus, penyelidikan 12, P-21 10 kasus.

Di bawah Pekanbaru, Polres Kampar terbanyak kedua menangani pencabulan dengan 20 kasus. ‘’13 dalam penyidikan, 3 dinyatakan lengkap, sisanya penyelidikan. Korban dan tersangka ada 20 orang,’’ terang Guntur.

Dumai dan Rohil, menyusul dengan kejadian pencabulan terbanyak berikutnya. Di Dumai, ada 12 kasus dengan tiga di antaranya dalam penyidikan, lima dinyatakan lengkap dengan tersangka 12 orang dan korban 13 orang.

Sementara di Rohil, kasus yang tercatat ada 12 laporan dengan tiga di antaranya sudah dalam penyidikan, lima penyelidikan, tiga dinyatakan lengkap, satu dihentikan, dan korban serta tersangka berjumlah 12 orang.

Siak dan Inhil, tahun 2014 menangani tujuh kasus pencabulan. Di Siak dua kasus dalam penyidikan, dua penyelidikan, dan tiga dinyatakan lengkap dengan tersangka berjumlah tujuh orang dan korban delapan orang. Sementara Inhil, tiga kasus dalam penyidikan, empat dinyatakan lengkap dengan korban dan tersangka berjumlah tujuh orang.

Rohul dan Pelalawan, sama-sama menangani enam kasus pencabulan. Di Rohul, empat dalam penyidikan, satu dinyatakan lengkap, dan satu dihentikan dengan korban dan tersangka berjumlah enam orang. Untuk Pelalawan, ada tiga kasus dalam penyidikan, satu dinyatakan lengkap, satu dalam penyelidikan dan satu dihentikan dengan korban dan tersangka sama-sama enam orang.

Polres Kuansing, menangani lima kasus dengan dua dalam penyidikan, tiga dinyatakan lengkap dan korban serta tersangka lima orang. ‘’Bengkalis dan Kepulauan Meranti sama-sama menangani satu kasus. Di masing-masing polres sudah dinyatakan lengkap dengan korban dan tersangka sama-sama satu orang.

Yang terpenting adalah bagaimana aturan dalam pelayanan anak-anak dapat memberi perlindungan dalam tumbuh kembang anak. Hal itu bisa dilakukan secara massif bila hal tersebut 'bunyi' di dalam UU No. 23 Perlindungan Anak tahun 2002 untuk 83 juta Anak Indonesia. Agenda ini sangat mendesak, bagaimana UU dapat memberi arahan yang jelas dalam melakukan pencegahan, memberikan sanksi seperti pada kasus kekerasan seksual, mensosialisasikan, membangun awareness dan membangun edukasi.Serta UU ini menyiapkan Lembaga yang tepat dapat mengambil anak-anak, jika ditempat itu terindikasi ancaman, kerawanan dan kekerasan Anak.

Jangan sampai kejadian JIS terulang, justru Lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap institusi pendidikan, justru diusir ketika ingin melakukan perlindungan dan pencegahan. Tentunya ini merupakan tamparan kepada dunia Pendidikan kita dan Kedaulatan Indonesia dalam menegakkan hukum di wilayahnya sendiri.

Jangan sampai kita menyesal, ketika melihat Anak-Anak tanpa sadar kita didik didunia yang penuh kekerasan. Untuk itu beberapa lembaga dan departemen yang fokus atas pelayanan anak, hendaknya mendorong adanya peraturan yang secara konsisten mampu menciptakan lingkungan protektif untuk anak-anak dan membuat jera para pelaku kekerasan untuk anak.