Tahun 80-an dikenal sebagai masa pertumbuhan bagi
gerakan-gerakan Islamisasi kampus. Bibit-bibit semangat “kembali ke-Islam” yang
disemai pada akhir tahun 70-an kuncup-kuncupnya mulai tumbuh. Kelompok-kelompok
pengajian kampus (halaqoh) semakin ngetrend dan bulan Ramadhan menjadi
selalu ramai. Meskipun sebenarnya terdiri dari berbagai aliran, akan tetapi
mereka mempunyai kesamaan isu, yaitu kebangkitan Islam. Harapan akan
kebangkitan Islam di Asia Tenggara ternyata cukup memberikan visi dan ruh yang
menghidupkan semangat para da’i kampus untuk terus mengobarkan semangat Islam.
Bagi Orde Baru, hal ini merupakan pertanda buruk,
karena akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kekuasaanya.
Beberapa kasus di negara lain radikalisme kaum
beragama bisa menciptakan revolusi yang bisa menumbangkan kekuasaan. Ancaman
terbesar bagi Orde Baru setelah hancurnya komunisme adalah kelompok beragama
ini. Penolakan Suharto atas keinginan Muhammad Roem menghidupkan kembali
Masyumi merupakan bukti ketakutanya pada kekuatan kaum beragama.
Bentuk antisipasi yang dilakukan Orde Baru untuk
mengontrol kehidupan kebangsanya ialah dengan rencana dikeluarkanya
Undang-undang Keormasan No. 8 tahun 1985. Dalam rancangan UU ini disebutkan
adanya kewajiban bagi tiap organisasi massa untuk memakai Pancasila sebagai
asasnya. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat kebhinnekaan yang menjadi
ruh Pancasila itu sendiri. Penyeragaman asas dalam tiap AD/ART adalah bentuk
kontrol yang sangat kuat dari negara terhadap warga negaranya yang berati pula
hilangnya kebebasan warga negara untuk berbeda. Oleh karena itu muncul banyak
kritik dalam pemunculan paket UU ini (baca bukunya Deliar Noor berjudul “Islam,
Pancasila dan Asas Tunggal”).
Meskipun demikian, kuatnya hegemoni kekuasan Orde
Baru, menjadikan organisasi-organisasi massa yang ada seperti Muhammadiyah, NU,
GMNI, PMKRI, GMKI, PMII, IMM dan sebagainya tidak bisa berbuat banyak.
Berbondong-bondong organisasi-organisasi tersebut mengubah AD/ART-nya menjadi
berasaskan Pancasila. Bebera alasan yang dikemukan oleh organisasi yang
mengubah asasnya tersebut rata-rata ialah untuk mencari keamanan. Dari sini
dapat kita rasakan betapa kuat dan ditakutinya kekuasaan Orde Baru saat itu.
Dukungan militer dalam mengamankan kekuasaan negara
yang sangat kuat seringkali menimbulkan tindakan-tindakan represif dan anarkis
oleh negara terhadap warga negara. Sehingga kepatuhan warga negara terhdap
pemerintah bukan karena disebabkan oleh semangat dan komitmen kebangsaan akan
tetapi lebih dikeranakan oleh adanya ketakutan-ketakutan terhadap aparat.
HMI sebagi organisasi mahasiswa terbesar dan
berpengaruh saat itu jelas akan menjadi sasaran selanjutnya bagi proyek
“Pancasilaisasi” ini. Anggota HMI yang banyak dan tersebar diseluruh pelosok
nusantara merupakan aset bangsa yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah
berkeinginan menjadikan HMI sebagai pelopor yang akan mendukung pelaksanaan UU
tersebut. Sewaktu pengumuman akan diterapkanya UU keormasan tersebut, HMI belum
menyatakan kesediaanya untuk mengikuti keinginan pemerintah.
Maka disusunlah strategi oleh pemerintah untuk
membujuk beberapa fungsionaris HMI agar bersedia memakan Asas Tunggal.
Dikirimlah beberapa alumni HMI yang sudah duduk dalam kabinet untuk mendekati
HMI. Jawaban pengurus HMI ialah agar semuanya diserahkan pada hasil kongres
yang akan diselenggarakan di Medan tahun 1983. Dalam kongres tersebut
pemerintah mengutus Abdul Gafur (menteri Pemuda dan Olah raga, yang juga alumni
HMI) untuk membujuk peserta agar bersedia mengubah asas. Abdul Gafur bahkan
mengancam akan melarang kongres tersebut, jika HMI menolak merubah asas.
Pada akhir Mei 1983 diadakanlah kongres HMI XV di
Medan. Kongres ini dinamakan kongres perjuangan, karena diselnggarakan dalam
tekanan yang kuat dari pemerintah untuk merubah asas. Dalam majalah Tempo edisi
4 Juni 1983 dilukiskan suasana kongres sebagai berikut : “….Ketika sampai pada
Anggaran Dasar pasal 4, bahwa asas HMI tetap Islam teriak Allahu Akbar gemuruh
menyambutnya…..”. HMI secara tegas menolak menggunakan Asas Tunggal Pancasila
dalam AD/ART-nya dan masih setia mempertahankan asas Islam.
Dalam kongres itu terpilih Hary Azhar Azis sebagai
ketua umum HMI, yang akan bertugas mengemban amanat ini. Kegagalan Abdul Gafur untuk
membujuk adik-adiknya ini tidak membuat pemerintah menghentikan usaha-usahanya.
Pemerintah terus berusaha untuk membujuk HMI dengan melakukan
pendekatan-pendekatan persuasif kepada pengurus HMI hasil kiongres. Usaha-usaha
tersebut berhasil Ketika pada saat sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK) II dan
rapat pleno PB HMI tanggal 1-7 April, di Ciloto-Puncak-Bogor, PB HMI bersedia
mengubah asas Islam dengan asas Pancasila. Keputusan ini diumumkan di media
massa seminggu kemudian dengan menggunakan rumah Bp. Larfan Pane sebagai
tempatnya.
Reaksi keraspun mengalir dari cabang-cabang di daerah.
Cabang Yogyakarta sebagai cabang embrionya HMI, melakukan protes keras terhadap
keputusan tersebut. Cabang Yogyakarta mengeluarkan pernyataan sikap dengan
judul : “Sikap jama’ah HMI Yogyakarta terhadap perilaku dan siaran pers PB
HMI”. Dalam pernyataan sikap tersebut secara tegas Yogyakarta menolak keputusan
PB dan menganggapnya inkonstitusional. Seharusnya keputusan perubahan AD/ART
adalah wewenang kongres HMI, bukan pengurus besar (PB). Cara pengambilan
keputusanyapun dianggap cacat karena tidak memenuhi kuorum. Dalam sidang MPK
tersebut 19 orang melakukan walk out.
PB HMI malah menanggapi sikap cabang Yogyakarta ini
dengan kurang arif. PB HMI tidak bersedia melantik M. Chaeron A.R. yang secara
aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta. Akhirnya pelantikan
dilakukan oleh HMI Badko Jawa Bagian Tengah yang juga bersikap menolak terhadap
keputusan PB HMI. Penolakan ini tertuang dalam sidang pleno HMI Badko Jawa
bagian tengah pada tanggal 29-30 Oktober 1985 di Yogyakarta. Atas sikap ini PB
HMI kemudian mamecat ketua Badko (Yati Rachmiati) dari pengurusannya.
Protes terhadap keputusan PB HMI ini bukan hanya
berlangsung di Yogyakarta. Cabang Jakarta, di mana Harry Azhar Azis, secara
adminstratif terdaftar sebagai anggota HMI, membuat keputusan dengan memecat
Harry Azhar Azis dari keanggotaan HMI. Secara konstitusional pemecatan ini sah,
karena (dalam aturan administrasi HMI) meskipun keduduknya sebagai Ketua Umum
PB HMI, akan tetapi kartu anggota dikeluarkan oleh pengurus cabang. Pemecatan
ini menimbulkan kemarahan PB HMI, atas nama Ketua Umum PB HMI ia kemudian
membekukan HMI cabang Jakarta dari struktur keorganisasian HMI. Sebagai
gantinya PB HMI membentuk cabang-cabang transitif yang pengurusnya dipilih oleh
PB HMI.
Menjelang diselenggarakannya kongres XVI di Padang,
Summatera barat, HMI Adapun kongres XVI pasti akan dijadikan forum untuk
melegitimasi perubahan asas tersebut oleh PB HMI. Dengan demikian takkan ada
lagi alasan bagi cabang-cabang untuk menolak perubahan asas dalam AD-ART HMI.
Demi mengantisipasi hal ini, maka cabang-cabang yang menolak keputusan PB
tersebut membentuk forum yang bernama Majlis Penyelamat Organisasi
(MPO). Pada mulanya forum tesebut dibentuk untuk berdialog
dengan PB HMI dan MPK (Majelsi Pekerja Kongres) mengenai perubahan asas dalam
kongres yang derencanakan. Akan tetapi karena tanggapan PB HMI terkesan
meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro
16, Jakarta). Dalam demonstrasi tersebut PB HMI malah menanggapinya dengan
mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah
ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Keadaan ini berlangsung sampai
diselenggarakanya kongres HMI XVI di Padang yang berlangsung pada tanggal 24-31
Meret 1986.
Dengan diwarnai kekacauan karena adanya dua kubu yang
saling bertentangan, maka kongres XVI di Medan menjadi tonggak sejarah bagi
pecahnya HMI menjadi dua bagian, HMI Dipo dan HMI MPO. Kehadiran MPO, yang
telah berhasil mengorganisir 9 cabang-cabang terbesar di HMI, ditolak oleh
panitia kongres. Kongres hanya diikuti oleh cabang-cabang yang tidak terlibat
dalam MPO dan cabang transitif. Kehadiran cabang transitif ini mendapat
tantangan keras dari peserta kongres sehinga menimbulkan kekacauan fisik dalam
ruangan sidang. Adapun 9 cabang yang mendukung MPO adalah: HMI Cabang Jakarta,
HMI Cabang Bandung, HMI Cabang Yogyakarta, HMI Cabang Ujung Pandang, HMI Cabang
Pekalongan, HMI Cabang Metro, HMI Cabang Tanjung Karang, HMI Cabang Pinrang dan
HMI Cabang Purwokerto.
Kongres berlangsung sampai selesai dengan menetapkan
Pancasila sebagai asas HMI. Sementara MPO, yang sebenarnya mempunyai lebih
banyak pendukung, pulang dari Padang dengan menyungging kekecewaan mendalam.
Dipandegani oleh HMI cabang Yogyakarta, barisan ini kemudian juga melakukan
kongres di Yogyakarta dan memakai nama kongres HMI XVI juga.
Tentunya kongres ini merupakan kongres ilegal dan
sangat diharamkan oleh pemerintah saat itu. Pemerintah menganggap kongres ini
sebagai bentuk pembangkangan terhadap negara dan anti Pancasila. Meskipun
demikian kongres tetap di selenggarakan dengan membuat pengumuman bahwa
“kongres akan diselenggarakan di Kaliurang-Yogyakarta”. Aparatpun mengancam
akan membubarkan kongres ini dan menangkap para pesertanya. Menjelang pintu gerbang
Kaliurang mobil pengangkut peserta dibelokan ke Gunung Kidul. Kongres berhasil
diselenggarakan selama tiga hari di sebuah desa di Gunung Kidul ini. Aparat
terkecoh karena mereka melakukan pengejaran ke Kaluirang akan tetapi ternyata
buronya di tempat lain. Saat mereka tahu bahwa kongres ternyata di adakan di
Gunung Kidul maka mereka mengejar. Akan tetapi setelah sampai, kongres sudah
selesai dan “HMI Perjuangan” sudah berdiri. HMI ini kemudian disebut HMI MPO
atau HMI Islam atau HMI 1947. Disebut HMI Islam karena HMI ini yang tetap
mempertahankan Islam sebagai asasnya, dan disebut HMI 1947 karena HMI ini
mengangap dirinya sebagai ‘yang benar-benar mewarisi HMI pada tahun aal
berdirinya pada 1947, yaitu HMI yang independen.
HMI hasil kongres XVI di Padang merupakan HMI yang
diakui secara sah oleh pemerintah. HMI ini sekretaraitnya di Jl. Diponegoro 16,
sehingga sering disebut HMI Dipo. Atau bisa juga disebut HMI Pancasila karena
asasnya Pancasila, atau di mass media biasa disebut dengan menggunakan huruf
“HMI” saja. Pasca reformasi, dalam kongresnya yang ke-22 di Aceh, pada tahun
1999, HMI ini merubah kembali asas ke Islam. Sehingga sekarang dari segi asas,
sudah tidak ada bedanya antara HMI Dipo dengan dengan HMI MPO. Namun demikian,
proses penjang lebih dari 20 tahun menjadi dua institusi yang sendiri-sendiri
menjadikan struktur, perkaderan, tradisi dan sikap politik kaduanya berbeda.
Tradisi kooperatifnya dengan Golkar dan kedekatanya dengan kebanyakan alumni
(KAHMI) menjadikan HMI Dipo lebih mapan secara finansial dan rapi dalam
keorganisasian. Sementara HMI-MPO identik dengan tradisi proletarian, komunitas
eksklusif, dan tidak mapan dalam organisasi.
HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua
garba Orde Baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam
suasana kebungkaman warga negara serta diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI
MPO hadir sebagai “pendekar muda” yang berani berteriak lantang menentang
kekuasaan. HMI MPO-lah organisasi Islam pertama yang menuntut Suharto harus
turun. HMI MPO harus berjuang dibawah tanah demi mempertahankan idealisme dan
eksistensinya yang semakin lama-semakin ditinggalkan cabang-cabang
pendukungnya. Aparat selalu mengawasi training-traning yang dilakukan oleh HMI
dengan mengirimkan intelnya. Penyelenggaraan LK I tak jarang gagal karena
tiba-tiba digrebek aparat dan pesertanya diintrogasi. Pada tahun 1987, di
Yogyakarta terjadi penggrebekan terhadap sekretariat HMI cabang Yogyakarta, di
Jl. Dagen 16. Pengurus yang waktu itu sedang berada di lokasi lari
tungang-langgang mencari perlindungan bersamaan dikokangnya senjata oleh
tentara.
Sebenarnya penggrebekan tersebut dilakukan karena
cabang HMI Dipo Yogyakarta yang baru didirikan berkeinginan untuk menempati
sekretartat di jalan Dagen. Karena terusir dari markasnya, para aktifis HMI MPO
memindahkan base camp-nya di sebuah rumah di Gang Sambu (dekat kampus
Universitas Negeri Yogyakarta). Tidk lama HMI-MPO bermarkas di Gang Sambu, atas
jasa simpatisan aktivis Islam, markas HMI-MPO Cabang Yogyakarta pindah di
Karangkajen. Sampai sekarang HMI-MPO Cabang Yogyakarta identik dengan
Karangkajen, karena kontrakan sekretariatnya selalu di sekitar wilayah
Karangkajen.
Pada awal perjalananya, HMI MPO dikenal dengan sosok
organisasi mahasiswa yang radikal dan sangat kanan (untuk tidak disebut
fundamentalis). Penekanan pada nilai-nilai ke-Islaman dan kejuangan menjadi
materi utama dalam training-trainingnya. Khittah perjuangan diciptakan sebagai
pedoman dalam perkaderan untuk mengganti NIK (Nilai-nilai Identitas Kader) yang
sudah dirasa tidak menggigit lagi. Sementara banyak anggota-anggotanya adalah
mahasiswa-mahasiswa yang aktif di pengajian (halaqoh), yang saat itu
memang sedang menjamur.
Demi mengurangi konflik dengan Negara, HMI MPO harus
memilih jalan-jalan yang tidak banyak mengekspos diri dan jauh dari jangkauan
khalayak. HMI lebih banyak bergerak dibelakang layar sambil sesekali muncul
dengan menggunakan kamuflase. Kajian-kajian epitemologis menjadi trade
mark-nya, yang mana kemudian menjadi identitas HMI MPO pada awal tahun
90-an. Kajian-kajian epistemologis ini ditempuh karena tidak banyak membutuhkan
biaya, aman dari tuduhan-tuduhan subversif, dan merupakan jalan alternatif
dalam tradisi intelektual di Indonesia.
Alasan HMI Penolakan Asas Tunggal
Alasan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas
tunggal dikemukakan oleh Abdullah Hehamahua (Mantan Ketua PB HMI) dalam
suratnya tertanggal 16 Mei 1985 kepada PB HMI. Ada empat alasan yang melatar
belakanginya yaitu :
1.
Alasan Ideologis
Islam sebagai agama paripurna, selain memiliki sistem
aqidah yang kokoh dan bersih, sekaligus memiliki sistem-sistem muamalah,
sebagian terdiri dari garis-garis besar saja-baik sistem politik, ekonomi,
sosial, budaya, hukum, militer maupun sistem keluarga. Dengan demikian sistem-sistem
yang ada dalam masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum
yang ada dalam Islam.
2.
Latar Belakang Historis
Bahwa perjuangan memerdekakan Indonesia dari tangan
penjajah kebanyakan dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam. Justru semangat teriakan
Allahu Akbar-lah yang mampu membakar perlawanan-perlawanan di segala penjuru
Indenesia. Boleh dikata Islam-lah yang melakukan perlawanan dalam mengusir
penjajah. Oleh karena itu harus ada bagian dari bangsa ini yang selalu
melakukan pembelaan terhadap ummat Islam. Munculnya Pancasila sebagai dasar
negara merupakan kompromi tertinggi dari ummat Islam demi kepentingan
bangsanya. Pemimpin Islam pada awal pembentukan negara menerima Pancasila,
karena:
Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1948 yang
menghasilkan nama Pancasila merupakan kompilasi dari pidato-pidato tokoh Islam
sebelumnya.
Sila-sila dalam Pancasila merupakan penjabara dari
Al-Qur’an mengenai sistem kenegaraan, jadi bukan hanya sekedar warisan leluhur
bangsa Indonensia.
Pancasila hanyalah sebagai konsensus nasional,
katakanlah sekedar kompromi nasional tentang atribut ketatanegaraan sehingga
tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan intern kelompok
sosial-politik yang ada, apalagi sampai ke tingkat keluarga dan pribadi,
sebagaimana yang dilakukan pada penerapan UU ormas tersebut.
Diterimanya Pancasila sebagai dasar Negara, karena
Pancasila yang diinginkan adalah sebagaimana yang termaktub dalam Piagam
Jakarta.
3.
Latar Belakang Konstitusional
Dekrit presiden 5 Juli 1959 disahkan oleh MPRS pada
tahun 1969 dan kemudian dikukuhkan lagi pada sidang MPR tahun 1972. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Sukarno bahwa sila pertama dalam Piagam Jakarta Yang
berbunyi : …” Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, menjiwai
pembukaan UUD ’45 yang kemudian manifes dalam pasal 29 menunjukan bahwa secara konstitusional
negara membiarkan dan melindungi pelaksanaan syariat Islam termasuk penggunaan
asas Islam dalam sebuah organisasi Islam. Hal ini berarti menjadikan Pancasila
sebagi asas tunggal bertentangan dengan Pancasila itu sendiri.
4.
Alasan Latar Belakang Operasional
Proses peneriman asas tungal yang dilakukan oleh PB
HMI jelas melalui keputusan yang dilakukan oleh beberapa gelintir orang saja.
Adanya tindakan-tindakan intimidasi, teror dan juga pembelian dengan uang
menjadikan proses penggunaan asas tunggal oleh HMI tersebut telah menyalahi
aturan. Kita ketahui bahwa proses penerimaan itu tidak masuk akal dan cacat
dalam hal mekanisme pemunculanya. Sebab sidang MPK (Majelis Pekerja Kongres) PB
HMI dan pleno PB HMI kedudukanya lebih rendah dari pada kongres HMI. Kongres
HMI XV di Medan yang merekomendasikan untuk mempertahankan asas Islam telah
dikhianati oleh PB HMI sendiri, dengan mengubahnya di tengah jalan tanpa
melalui mekanisme yang sah. Adapun kemudian asas itu disahkan dalam kongres XVI
di Padang, akan tetapi mekanisme penyelenggaraan kongres Padang tersebut juga
mengalami kecacatan. Mayoritas cabang yang hadir waktu itu masih menghendaki
HMI memepertahankan Islam sebagai asas. Akan tetapi apa boleh buat, tekanan
dari penguasa dan diskrimatifnya peserta kongres menjadikan keputusanya lain.
Tulisan ini di bersumber dari Klik Disini